Bakti Indonesia Timur Rumah Sakit Terapung memasuki bulan kedua dengan tujuan Pulau Lembata dan Pulau Timor. Setelah 1 minggu memberikan pelayanan di Pulau Lembata dan 1 minggu di Kabupaten Malaka, RSTKA berlanjut memberikan pelayanan di Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Bakti ini didukung oleh sponsor utama Protelindo, Amman Mineral, Northstar Foundation, Frans Seda Foundation, Investree dan ASKI (Astra Komponen Industri), dan didukung oleh RSUD Dr Soetomo, Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran UNAIR, dan IDI Surabaya, serta Pelindo, Pelindo Marine Service, dan Aperindo.
Fenomena Stunting di NTT
Sebuah catatan yang disampaikan oleh dr. Wigit Kristanto PPDS Anak dari FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo yang telah beberapa kali mengikuti pelayanan RSTKA sebelumnya di kepulauan Madura dan tahun ini di NTT.
Tak terasa sebulan sudah menjelajahi Pulau Lembata dan Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur bertemu dengan para Mama dengan balita tengkes (stunting). Tengkes berkaitan dengan kekurangan nutrisi kronis akibat berbagai macam hal, umumnya karena pola makan yang salah.
Selama sebulan ini kami menemukan alasan menarik dibalik kejadian ini. Mulai dari ironi di desa-desa nelayan yang menjual ikan untuk dibelikan beras atau mie instan. Anak-anak lebih sering makan nasi kosong (tanpa lauk) atau paling tidak nasi dengan sayur. Begitu bergantung masyarakat dengan beras padahal ada sumber karbohidrat lain seperti jagung, sorgum, atau ubi yang dapat tumbuh subur di NTT.
Saat bertugas di Lewoleba, di pesisir utara Lembata, kami juga menerima kunjungan dari warga di desa-desa pesisir selatan. Salah satunya adalah desa Lamalera, yang terkenal sebagai desa pemburu Paus. Masyarakat disana saat bulan-bulan kemarau melakukan perburuan Paus dan telah mengenal teknik pengawetan daging paus sejak dulu kala. Apakah kasus tengkesnya rendah? Tidak, karena daging Pausnya juga dijual untuk membeli beras atau mie instan. Sungguh ironi.
Beranjak ke pulau Timor, kami lebih banyak menjelajahi desa-desa di pegunungan. Ikan tentu lebih sulit didapat. Selain itu yang menarik kami temui ada beberapa kelompok masyarakat dengan keyakinan pemali (tidak boleh) makan semua hewan laut. Bahkan kelompok lain ada yang menganggap pemali makan telur atau daging babi. Sungguh unik kebiasaan dan adat masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini kami banyak belajar dari masyarakat Lembata dan Timor bahwa begitu rumitnya mengatasi tengkes. Semoga sedikit hal yang telah kami lakukan dapat menjadi motivasi untuk mengatasi tengkes pada anak-anak di NTT. Terima kasih warga Lembata dan Timor, Uis Neno Nokan Kit!.
Beragam Kasus THT-BKL di So’e
Soe adalah kecamatan yang juga ibu kota dari Kabupaten Timor Tengah Selatan. Cuaca di kota ini jauh lebih dingin dibandingkan kota lainnya di Pulau Timor. Kabupaten ini menjadi tempat terdingin selama Bakti Indonesia Timur 2023. Relawan RSTKA datang tepat saat musim dingin di Soe. Kabut, hujan, dan angin menyertai perjalanan sehari-hari.
Salah satu poli yang diberikan adalah poli THT-BKL yang dilayani oleh dr. Hayyu Fath Rachmadhan, dokter PPDS THT-BKL FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo. Beliau menceritakan pengalaman pelayanannya dalam sebuah tulisan singkat.
Mayoritas masyarakatnya memiliki kebiasaan unik yang mungkin jarang terjadi di tempat lainnya. Kebiasaan mengorek telinga mereka setiap hari dari kecil menggunakan berbagai macam alat (kayu, besi, kunci) sampai gendang telinga robek biasa terjadi. Bahkan anak-anak kecil sudah biasa diantara mereka apabila gatal telinga, mereka memasukkan batu/kerikil ke dalam telinga sampai gatal hilang. Telinga bernanah, tersumbat kotoran, tertinggal kapas, batu, merupakan hal yang sangat wajar. Cuaca dingin yang menyelimuti disertai hempasan debu memberikan sumbangsih terjadinya rhinitis vasomotor, rhinitis alergi. Septum deviasi (bengkok tulang dinding hidung) juga ikut menghiasi kasus THT-BKL.
Sebagai relawan, bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini, karena mendapatkan banyak teman, mengenal budaya dan bahasa setempat, khususnya dapat menerapkan ilmu yang saya pelajari selama ini. Kelak, So’E akan menemukan spesialisnya sendiri.
Selama 5 hari pelayanan, RSTKA membuka poli di RSUD So’e dan melayani sebanyak 267 pasien THT-BKL, 27 pasien poli kardiologi, 194 pasien poli neurologi, dan 126 poli rehab medis. Di puskesmas dan posyandu dilakukan pelayanan ANC dan USG 224 ibu hamil dan skrining stunting kepada 227 anak. Juga mengadakan Penyuluhan Stunting, Pelatihan USG untuk dokter umum puskesmas se-kabupaten Timor Tengah Selatan dan Pelatihan PPGDON yang diikuti bidan dan dokter.
Pelajaran Berharga untuk Relawan Dokter Umum
“Lewat perjalanan saya bersama RSTKA saya melihat keindahan alam Nusantara yang tidak bisa ditangkap dengan kamera, mendapat pengalaman dan kebahagiaan yang tidak dapat dibeli dengan uang. Kebahagiaan terbesar saya selama disini adalah ketika pasien-pasien post op mata di Lembata mengirimkan kami video berisikan ucapan terima kasih meskipun kami sudah berpindah pulau berminggu-minggu kemudian. Kelegaan dan senyuman sungguh terlihat dari raut wajah mereka. Mungkin mereka tidak ingat atau bahkan tidak pernah melihat wajah kami, tapi saya akan mengingat mereka untuk waktu yang lama”. Cerita dari dr. Nadia Carolina Notoprawiro yang telah menempuh pendidikan magister di Udayana Bali yang berkesempatan bergabung menjadi relawan Bakti Indonesia Timur periode #2.
“Salah satu pengalaman menarik adalah saat skrining stunting di desa Kolipadan, di ujung pulau Lembata. Banyak kasus kami temukan dimana orang tua dengan pendapatan yang sangat kecil dan pendidikan kurang ternyata memiliki lebih dari 5 anak. Meski banyak yang berprofesi sebagai nelayan, hasil tangkapan ikan lebih banyak untuk dijual ketimbang dikonsumsi untuk pemenuhan gizi protein anak mereka. Pentingnya penemuan kasus stunting lebih dini memungkinkan anak stunting bisa lebih cepat ditangani dan mengejar status tumbuh kembang optimal sesuai usia mereka”. Cerita dr. Yosua Timotius seorang relawan dokter umum yang berasal dari Bandung.
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga masih terus berlayar mengarungi pulau-pulau di NTT sampai bulan Desember 2023 dengan mengusung beberapa misi yaitu, skrining penyakit jantung bawaan, skrining stunting, dan penurunan angka kematian ibu dan bayi. RSTKA tidak bisa berjalan sendiri, melainkan sangat terbuka terhadap segala bentuk kolaborasi dan donasi demi terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan untuk masyarakat kepulauan.