“Dokter jangan tinggalkan saya, kaki saya tidak bisa bergerak”. Astaga lupa pasiennya sadar, yang dibius cuman kakinya, tidak bisa bergerak. Terdiam sejenak, tak ada pilihan lain, cukup putus asa, menguatkan hati tetap membersamai pasien, berdoa gempa segera selesai dan segera melanjutkan operasi agar pasien bisa kembali ke daratan lapang.
dr. Atiya Nurrahmah
Sejujurnya sudah dari lama mendengar kalau Universitas Airlangga yang kusayangi ini ada ide mengenai Rumah Sakit Kapal. Tapi ya berlalu begitu saja sampai selesai pelantikan dokter. Saat itu mulai terpikir hidup dari kecil di surabaya, sekolah di surabaya, bekerja di surabaya, sejujurnya sedikit membosankan. Teringat mimpi orangtua yang bercita cita putri kecilnya menjadi dokter yang bisa memberi pengobatan gratis buat pasien nda mampu. Langsung? Hah? Mana mungkin, alat dan obatnya beli pakai apa, batinku.
Saat itu bertepatan dengan bencana gempa bumi di lombok. Salah satu teman akrab saya, yang kini tengah belajar bersama di residensi bedah, bercerita bahwa relawan yang tadinya membantu di RS Terapung ditarik oleh Kampus karena masih berstatus mahasiswa, sehingga kekurangan tenaga medis di sana, padahal kapal sudah sampai di Pelabuhan Bangsal, Kabupaten Lombok Utara. Kira kira langsung mendapat izin untuk berangkat dari orang tua? Jelaas tidak, mana ada orang tua yang serta merta merelakan putri nya pergi ke tempat bencana. Aku menceritakan kondisi di Lombok Utara kepada orang tua, “Kalau memang waktunya meninggal, bencana atau tidak, pasti ya akan meninggal, bukan?”. Abi dan Umi setuju. Mereka mengantarku ke bandara. Saat itu ku melihat orang tua ku keren sekali. Mereka bukan dokter, tapi aku bangga dengan keputusan yang dipilih, bagiku orang tuaku lah doktersebenarnya, mereka selalu mengizinkan jika berkaitan menolong pasien. Di sisi lain. Yes! Akhirnya aku keluar dari surabaya, pikirku.
Pertama Kali Keluar Pulau
Berangkatlah gadis kecil bermodal nekat ini, tapi entah mengapa aku yakin sekali untuk memilih berangkat. Takut? Jelas iya. Sesampai di pelabuhan bangsal, pertama kali aku melihat kapal rumah sakit. Woah keren pikirku. Kapal kayu bewarna putih biru itu bersandar, sesekali ombak menerpa membuatnya bergoyang ke arah dermaga. Kapal ini punya ruang operasi di dalamnya, sekali lagi terlihat keren sekali dimataku, ini bukan drama Hospital Ship cuy. Ku putar badanku. Dengan gagahnya bersandar kapal milik BASARNAS dan kapal POLRI. Di seberang dermaga, ada tenda khusus didirikan sebagai UGD, dan tempat ku berada adalah tenda dermaga dekat kapal RS Terapung yang digunakan sebagai recovery room (RR). Bagaimana kondisi lombok waktu itu? Jelas sepanjang jalanan yang kulihat hanya reruntuhan di samping pantai lombok yang indah. Seberapa besar gempanya sampai seperti ini pikirku. Tunggu seberapa banyak pasien nya? Jawabannya banyak!
Berangkatlah gadis kecil bermodal nekat ini, tapi entah mengapa aku yakin sekali untuk memilih berangkat. Takut? Jelas iya. Sesampai di pelabuhan bangsal, pertama kali aku melihat kapal rumah sakit. Woah keren pikirku. Kapal kayu bewarna putih biru itu bersandar, sesekali ombak menerpa membuatnya bergoyang ke arah dermaga. Kapal ini punya ruang operasi di dalamnya, sekali lagi terlihat keren sekali dimataku, ini bukan drama Hospital Ship cuy. Ku putar badanku. Dengan gagahnya bersandar kapal milik BASARNAS dan kapal POLRI. Di seberang dermaga, ada tenda khusus didirikan sebagai UGD, dan tempat ku berada adalah tenda dermaga dekat kapal RS Terapung yang digunakan sebagai recovery room (RR). Bagaimana kondisi lombok waktu itu? Jelas sepanjang jalanan yang kulihat hanya reruntuhan di samping pantai lombok yang indah. Seberapa besar gempanya sampai seperti ini pikirku. Tunggu seberapa banyak pasien nya? Jawabannya banyak!
Saat itu pertama kali ku bertemu dengan dr. Agus Sp. B, pandangan pertama ku melihatnya, beliau pria sederhana berkaos oblong dengan rompi RSTKA, berewokan lebat, tapi begitu tersenyum, senyumnya ramah ikhlas seperti malaikat, memang pernah lihat malaikat? Haha. Beliau adalah direktur RSTKA sekaligus dokter bedah di kapal, kupikir pelaut, nahkoda kapal, aku jadi paham mengapa kami mendapat titipan cukur rambut untuknya karena cukur rambutnya terlepas kelaut.
Beliau memimpin rapat koordinasi, bahwa tim di Lombok Utara ini bukan hanya medis, ada BASARNAS yang membantu evakuasi korban bencana, POLRI yang bertanggungjawab atas lalu lintas tanggap bencana, ada tim tanggap bencana juga dari lembaga lain, kami membagi tugas. Untuk Pelabuhan Bangsal RSnya adalah RS Terapung Ksaria Airlangga dengan RS lapangan adalah RS Tanjung KLU yang saat itu sudah runtuh, dan akhir pusat rujukan di sistem ini adalah RS Mataram. Untuk tim medis terbagi tim IGD, tim Rawat Inap dengan tenda dari basarnas di seberang dermaga, tim Recovery Room dengan tenda di dermaga tepat disamping kapal, dan tim OK yang tentunya berada di dalam kamar operasi. Deal! Pemilihan tempat dengan acakan, first place ku, tim OK, welcome to the adventure, di antara semua tempat haha. Begitu selesai dibagi, sebelum menyelesaikan rapat, dr Agus memberi pertanyaan kepada kami, “Do you know something special inside this hospitalship?”, kami terdiam. “Cinta”, lanjut beliau dengan tersenyum.
Besoknya mulai kami operan tugas, pasien operasi terbanyak karena gempa ini, tentunya pasien trauma, patah tulang akibat tertimpa reruntuhan. Operasinya? Closed reduction, debridement luka, dengan bius lokal, regional, hingga general anestesia. Apa yang paling berkesan? ritme kerjanya dan kerjasamanya, cepat. Mulai ambulans mengantar pasien yang membutuhkan operasi dari IGD ke kamar operasi di kapal, di RR dipersiapkan untuk premedikasi operasi dan persetujuan tindakan, paling menantang adalah membawa pasien keluar masuk dari RR ke dalam ruang operasi kapal. Hingga akhirnya pasien dinyatakan boleh pulang atau tinggal dulu di rawat inap. 24/7. Yap non stop.
Gempa Susulan Terjadi
Kami akhirnya bisa mengikuti ritme bekerjanya, hingga akhirnya gempa besar itu muncul lagi di dua hari. Pertama saat kami berada di kapal, dan kedua saat semua operasi selesai, berjarak 1 minggu satu sama lain. Saat pertama muncul adalah saat memulai debridement luka di kaki, pasien sudah mendapat bius regional untuk kaki, mulai gempa itu pun muncul, mungkin awalnya kami tidak berasa karena di dalam kapal sudah terbiasa bergoyang, sampai salah satu ada yang berteriak, gempa! Rasanya ingin pergi menyelamatkan diri mendengar kalimat itu, panik dan bingung, jelas. Akan tetapi pikiran kacau itupun terpecah saat ada suara disamping berbisik, “Dokter jangan tinggalkan saya, kaki saya tidak bisa bergerak”. Astaga lupa pasiennya sadar, yang dibius cuman kakinya, tidak bisa bergerak. Terdiam sejenak, tak ada pilihan lain, cukup putus asa, menguatkan hati tetap membersamai pasien, berdoa gempa segera selesai dan segera melanjutkan operasi agar pasien bisa kembali ke daratan lapang. Kapten kapal pun bersiap membuang jangkar ke tengah laut, jika gelombang mulai besar, karena di tengah laut lebih aman daripada kapal terbentur dermaga, ada dinding ruang operasi di bahu kapal. Saat itu aku baru menyadarinya, “Gila kau pertaruhkan hidupmu loh”.
Dengan silih bergantinya relawan dokter spesialis bedah saat bencana lombok, tim tetap OK yang setia menemani adalah tim yang kerjanya cepat, teliti dan seru. Dokter anestesi dr. Arief SpAn, kemudian 2 perawat OK, mas Bagus dan mas Adit, sehingga meskipun di tempat bencana terasa menyenangkan bekerja bersama.
Gempa kedua adalah saat tepat tim OK menyelesaikan jadwal operasi, sekitar pukul 21.00, malam hari kami turun dari kapal ke dermaga menuju rawat inap di seberang dermaga untuk melihat pasien post operasi. Masih di tengah dermaga, tiba tiba listrik padam hampir sejauh mata memandang. Ada apa ini pikir kami di tengah dermaga. Terdengar bunyi gemuruh. Ini berbeda dari gempa sebelumnya yang kami berada di kapal. Tiba tiba seperti diayun kaki kami, semakin lama semakin keras mengayun, kami tidak sedang di dalam kapal dan ini jelas bukan ayunan ombak seperti biasanya, ini gempa. “Mamaaaa” teriak teman sebelahku memecah keteganganku, ia sambil berlari sekencang mungkin ke daratan seberang dermaga yang masih jauh. Ayunan makin keras hingga aku tak bisa merasakan kakiku, dalam hati, apakah aku akan mati kali ini? tak bisa berkata apa apa aku menyusul temanku berlari ke daratan.
Pasien post operasi pun banyak yang terbangun, satu dua orang melepas infus dan ingin pergi mencari tempat aman ke daratan lebih tinggi. Karena kali ini gempa terasa sangat besar hingga memadamkan listrik mereka takut giliran tsunami yang datang karena kami di pelabuhan. Di tengah kekacauan ini, aku melihat sosok dr Agus yang tersenyum menenangkan kami dan pasien agar tidak gegabah, tetap memastikan infus berfungsi benar, luka pasien dan gips pasien aman sebelum ditransport satu satu. Dalam hati, ‘Bagaimana beliau bisa seperti itu?’. Ku terdiam, tercengang, berpikir dan penasaran. Mendadak aku bisa merasakan kakiku kembali dan mulai mengikuti apa yang beliau lakukan, menenangkan pasien dan membantu membenarkan infus dan bed yang berantakan. Jika superhero itu benar ada, sepertinya aku sedang melihatnya tepat di depanku, menggunakan kedua mataku.
Gempa besar mulai reda dan baru muncul pemberitahuan BMKG di aplikasi HP, memang besar gempanya, dalam hati HP sial telat tahu infonya. Kami tetap di seberang dermaga samping kapal, tak ingin meninggalkan kapal kami. Ada tim kami di dalam kapal juga. Gempa susulan kecil terus berlanjut sampai sholat subuh pun di mushola di samping dermaga, di rakaat terakhir gempa muncul lagi, kaca dan genting mushola bergetar, kegalauan ingin membatalkan shalat atau tetap melanjutkan shalat muncul, untung gempa segera selesai, dan setelah salam shalat selesai salah satu teman kami yang ikut shalat berkata, “mbak hampir kita meninggal khusnul khotimah”. Hahaha aku tak tahu harus sedih atau senang mendengar guyonannya. Hmm tunggu dulu, sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan suasana gempa ini. Begitulah, gempa susulan lebih kecil masih terus berulang hingga matahari terbit, ia berhenti. Tak ada satupun dari kami yang bisa tertidur. Tim kami di kapal berhasil turun ke seberang dermaga menemui kami, membantu kami menata kembali tenda rawat inap dan IGD kami.
Kami kembali merawat beberapa pasien yang memilih tidak pergi saat gempa, karena memang kesulitan pergi patah tulang panjang di gips di kaki, tak bisa berjalan, lebih aman pikirnya bersama kami. Sambil lalu, aku melihat sekitar, tim ini dipenuhi orang orang baik, ikhlas dan hebat. Bagaimana tidak, nyawa loh yang dipertaruhkan. Dokter, perawat, pak polisi, kapten, ABK, relawan semuanya. Mereka hebat tetap tenang dan bekerja di posnya masing masing di situasi seperti ini. Seolah siap menghadapi apapun.
Terima Kasih RSTKA atas ilmu dan pengalamannya
Sebentar saja lamunanku tebuyar, saat ada tangan kecil menarik bajuku saat aku memegang selang infus, seorang ibu yang duduk di samping putranya berkata, “Dokter… dokter tahu? saya sangat berterima kasih karena Tuhan sudah mengirim kapal dan dokter dari jauh kemari. Sehingga, anak saya akhirnya dapat obat, saya hampir putus asa mau kemana membawa anak saya berobat”, Ibu itu tersenyum hampir menangis. Ku terdiam melihatnya, ibu itu tetap tersenyum sambil mengelus putra kesayangannya. Ku hanya bisa tersenyum melihatnya. Apa ini, kenapa bahagia sekali rasanya. Akhirnya kami menghabiskan sisa hari kami di lombok dengan merayakan hari kemerdekaan Indonesia dan hari Raya Idul Adha bersama pengungsi dan relawan di Pelabuhan Bangsal, KLU. Bersama.
Oh ya kalian tahu sumber kekuatan terbesar dokter? Sederhana! melihat pasien kami tersenyum mengucap syukur karena bisa sehat kembali setelah semua perjuangan yang dilakukan sudah kami lakukan, teman teman tim medis, relawan disini ini. Hehe, jadi teringat sesuatu, apa menjadi dokter seperti ini yang abi umi harapkan dulu ya, sepertinya aku sudah mendapatkannya, dan disini lah tempatnya. Hai kapal, terima kasih sudah mengajari banyak hal. Kalau boleh mengulang hari, mungkin aku akan tetap memilih RSTKA lagi.